Beranda | Artikel
Benarkah Imam As-Syafii Bertabarruk(Ngalap Berkah) Dengan Kubur Imam Abu Hanifah?
Senin, 27 September 2010

Pertanyaan : Benarkah atsar yang diriwayatkan oleh Al-Khothiib Al-Baghdaadi bahwasanya Imam As-Syafi’i sering bertabarruk dengan kuburan Imam Abu Hanifah?.

Jawab:

Atsar tersebut sebagai berikut :

Berkata Al-Khothiib Al-Bagdaadi –rahimahullah-

أخبرنا القاضي أبو عبد الله الحسين بن علي بن محمد الصيمري قال أنبأنا عمر بن إبراهيم المقرئ قال نبأنا مكرم بن أحمد قال نبأنا عمر بن إسحاق بن إبراهيم قال نبأنا علي بن ميمون قال سمعت الشافعي يقول : إِنِّي لأَتَبَرَّكُ بِأَبِي حَنِيْفَةَ وَأَجِيْءُ إِلَى قَبْرِهِ فِي كُلِّ يَوْمٍ يَعْنِي زَائِرًا فَإِذَا عَرَضَتْ لِي حَاجَةٌ صَلَّيْتُ رَكْعَتَيْنِ وَجِئْتُ إِلَى قَبْرِهِ وَسَأَلْتُ اللهَ تَعَالَى الْحَاجَةَ عِنْدَهُ فَمَا تَبْعُدُ عَنِّي حَتَّى تُقْضَى

“Al-Qodhi Abu Abdillah Al-Husain bin Ali bin Muhammad Ashoimari telah mengabarkan kepada kami, ia berkata : Umar bin Ibrahim Al-Muqri’ telah mengabarkan kepada kami, ia berkata : Mukrim bin Ahmad telah mengabarkan kepada kami, ia berkata : Umar bin Ishaq bin Ibrahim telah mengabarkan kepada kami, ia berkata : Ali bin Maymuun telah mengabarkan kepada kami, ia berkata : Aku mendengar As-Syafi’i berkata : “Sungguh aku bertabarruk dengan Abu Hanifah, dan aku mendatangi kuburannya setiap hari yaitu aku menziarahi kuburannya. Jika aku mempunyai suatu hajat maka akupun sholat dua raka’at dan aku mendatangi kuburannya dan aku meminta hajatku kepada Allah di sisi kuburannya maka tidak lama kemudian hajatku itu terpenuhi” (Taariikh Baghdaad 1/445)


Kisah ini adalah kisah yang batil dan dusta terhadap Imam As-Syafii dari beberapa sisi:

Pertama : Atsar atau kisah ini sudah dijelaskan oleh para ulama hadits bahwasanya atsar atau kisah ini adalah kisah yang dusta dan tidak benar.

Syaikh Al-Albani berkata :

“Ini merupakan riwayat yang lemah bahkan batil, karena Umar bin Ishaaq bin Ibrahim tidaklah dikenal, dan sama sekali tidak ada penyebutannya di buku-buku biografi para rawi. Dan ada kemungkinan bahwasanya ia adalah ‘Amr (bukan Umar) bin Ishaq bin Ibrahim bin Humaid bin As-Sakan Abu Muhammad At-Tunisi. Al-Khothiib Al-Baghdaadi telah menyebutkan biografinya dalam taarikh Baghdad 12/226 dan Al-Khothiib menyebutkan bahwasanya ‘Amr bin Ishaaq adalah seroang dari Bukharo kemudian mendatangi kota Baghdad dalam rangka berhaji pada tahun 341 H. Dan Al-Khothiib tidak menyebutkan tentang kedudukan orang ini baik secara jarh maupun ta’diil. Maka hukum orang ini adalah majhuul al-haal.

Dan kemungkinan juga yang dimaksud dengan Umar bukanlah ‘Amr, karena gurunya yaitu Ali bin Maymuun wafat tahun 247 menurut mayoritas pendapat. Maka antara wafat keduanya sekitar seratus tahun, maka kemungkinan jauh kalau ia sempat bertemu gurunya tersebut” (Silsilah Al-Ahaadiits Ad-Do’iifah wal Maudluu’ah 1/78, lihat juga penjelasan Al-Mu’allimi dalam kitabnya At-Tankiil 1/58-60)

Ibnu Taimiyyah juga berkata :

“Bahkan yang diriwayatkan dari para ulama tentang hal ini (yaitu berdoa di sisi kuburan orang sholeh-pent) adalah dusta terhadap ulama tersebut. Seperti yang dihikayatkan oleh sebagian orang dari Imam As-Syafi’i bahwasanya ia berkata, “Jika aku mengalami kesulitan maka akupun pergi dan berdoa di sisi kuburan Abu Hanifah maka Allah pun mengabulkan permintaanku”, atau perkataan yang maknanya seperti ini. Ini seluruhnya telah diketahui kedustaannya secara darurat (sangat jelas-pent) bagi orang yang mengetahui ilmu riwayat. Karena As-Syafi’i tatkala datang di kota Baghdad tidak ada sama sekali satu kuburanpun di Baghdad yang sengaja dikunjungi orang untuk berdoa di situ. Bahkan perbuatan seperti ini tidaklah dikenal di zaman As-Syafi’i. Di negeri Hijaz, Yaman, Syaam, Iraq, dan Mesir As-Syafii telah melihat kuburan para nabi, para sahabat, dan para tabi’in. Dimana para penghuni kubur tersebut lebih afdhol di sisi As-Syafi’i dan juga di sisi kaum muslimin daripada Abu hanifah –dan para ulama yang semisalnya-. Lantas kenapa As-Syafi’i tidak sengaja bermaksud untuk berdoa di sisi kuburan-kuburan tersebut?.

Selain itu juga para sahabat Abu Hanifah yang semasa dengan As-Syafii seperti Abu Yusuf, Muhammad, Zufar, Al-Hasan bin Ziyaad, dan yang satu tobaqot dengan mereka, mereka semua tidak bersengaja untuk berdoa di sisi kuburan Abu Hanifah atau kuburan yang lain” (Iqtidhoo’ siroothil mustaqiim 2/692-293)

Oleh karenanya siapa saja yang berdalil dengan kisah Imam As-Syafi’i ini maka dia dituntut untuk menjelaskan keshahihan isnad kisah ini. Jika tidak maka ia sama seperti orang yang meriwayatkan kisah tanpa sanad, maka ia terkena perkataan Imam As-Syafii

مَثَلُ الَّذِي يَطْلُبُ الْحَدِيْثَ بِلاَ إِسْنَادٍ كَمَثَلِ حَطَّابِ لَيْلٍ حَزْمَةَ حَطَبٍ وَفَيْهِ أَفْعَى وَهُوَ لاَ يَدْرِي

“Permisalan orang yang mencari hadits tanpa isnad maka seperti pencari kayu bakar dimalam hari yang mengumpulkan seikat kayu, padahal di dalam ikatan tersebut ada ular dan dia tidak tahu” (Faidhul Qodiir 1/433)

Kedua : Justru sebaliknya ada atsar dari Imam As-Syafi’i dengan sanad yang shahih yang bertentangan dengan atsar dusta ini.

Imam As-Syafi’i berkata :

وأكره أن يعظم مخلوق حتى يُجعل قبره مسجداً مخافة الفتنة عليه وعلى من بعده من الناس

“Dan aku benci diagungkannya seorang makhluq hingga kuburannya dijadikan mesjid, kawatir fitnah atasnya dan atas orang-orang setelahnya” (Al-Muhadzdzab 1/140, Al-Majmuu’ syarhul Muhadzdzab 5/280)

Bahkan Imam As-Syafii dikenal tidak suka jika kuburan dibangun lebih tinggi dari satu jengkal. Beliau berkata :

وَأُحِبُّ أَنْ لَا يُزَادَ في الْقَبْرِ تُرَابٌ من غَيْرِهِ وَلَيْسَ بِأَنْ يَكُونَ فيه تُرَابٌ من غَيْرِهِ بَأْسٌ إذَا زِيدَ فيه تُرَابٌ من غَيْرِهِ ارْتَفَعَ جِدًّا وَإِنَّمَا أُحِبُّ أَنْ يُشَخِّصَ على وَجْهِ الْأَرْضِ شِبْرًا أو نَحْوَهُ وَأُحِبُّ أَنْ لَا يُبْنَى وَلَا يُجَصَّصَ فإن ذلك يُشْبِهُ الزِّينَةَ وَالْخُيَلَاءَ… وقد رَأَيْت من الْوُلَاةِ من يَهْدِمَ بِمَكَّةَ ما يُبْنَى فيها فلم أَرَ الْفُقَهَاءَ يَعِيبُونَ ذلك
“Aku suka jika kuburan tidak ditambah dengan pasir selain dari (galian) kuburan itu sendiri. Dan tidak mengapa jika ditambah pasir dari selain (galian) kuburan jika ditambah tanah dari yang lain akan sangat tinggi. Akan tetapi aku suka jika kuburan dinaikan diatas tanah seukuran sejengkal atau yang semisalnya. Dan aku suka jika kuburan tidak dibangun dan tidak dikapur karena hal itu menyerupai perhiasan dan kesombongan… Aku telah melihat di Mekah ada diantara penguasa yang menghancurkan apa yang dibangun diatas kuburan, dan aku tidak melihat para fuqohaa mencela penghancuran tersebut” (Al-Umm 1/277).

Apakah orang-orang yang suka membangun tinggi kuburan –yang mengaku bermadzhab As-Syafii- mau mengamalkan nasehat Imam Syafi’i ini? Bagaimana jika Imam As-Syafi’i menegur mereka?, mereka akan serentak berkata, “Imam As-Syafii sudah terpengaruh virus Wahabi ?!!!”

Ketiga : Imam An-Nawawi –dan dia merupakan ulama terkemuka dari madzhab As-Syafi’i- telah menukil kesepakatan para ulama dalam mengingkari bentuk-bentuk pengagungan terhadap kuburan. Beliau berkata tentang kuburan Nabi:

لا يجوز أن يطاف بقبره صلى الله عليه وسلم ويكره الصاق الظهر والبطن بجدار القبر قاله أبو عبيد الله الحليمي وغيره قالوا ويكره مسحه باليد وتقبيله بل الأدب أن يبعد منه كما يبعد منه لو حضره في حياته صلى الله عليه وسلم هذا هو الصواب الذي قاله العلماء وأطبقوا عليه ولا يغتر بمخالفة كثيرين من العوام وفعلهم ذلك.
“Tidak boleh thowaf di kuburan Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- dan dibenci menempelkan punggung dan perut ke dinding kuburan Nabi –sebagaimana dikatakan oleh Abu Abdillah Al-Hulaimi dan yang lainnya. Mereka (para ulama juga) berkata : Dan dibenci mengusapkan tangan ke kuburan dan mencium kuburan, akan tetapi adab (yang benar) adalah ia menjauh dari kuburan Nabi sebagaimana ia menjauh dari Nabi jika ia menemui Nabi tatkala Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- masih hidup. Inilah yang benar yang telah dikatakan oleh para ulama dan mereka bersepekat atas perkataan ini. Dan janganlah terpedaya dengan penyelisihan banyak orang awam dan perbuatan mereka akan kesalahan-kesalahan tersebut.

فان الاقتداء والعمل انما يكون بالاحاديث الصحيحة وأقوال العلماء ولا يلتفت إلى محدثات العوام وغيرهم وجهالاتهم

وقد ثبت في الصحيحين عن عائشة رضى الله عنها أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال (من أحدث في ديننا ما ليس منه فهو رد) وفي رواية لمسلم) من عمل عملا ليس عليه عملنا فهو رد) وعن أبي هريرة رضي الله عنه قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم (لاِ تَجْعَلُوا قَبْرِي عِيْدًا وَصَلُّوا عَلَيَّ فَإِنَّ صَلاَتَكُمْ تَبْلُغُنِي حَيْثُ مَا كُنْتُمْ) رواه أبو داود باسناد صحيح

Sesungguhnya teladan dan amalan hanyalah dengan berdasarkan hadits-hadits yang shahih dan perkataan para ulama, dan janganlah menengok kepada bid’ah-bid’ah dan kebodohan-kebodohan yang dilakukan oleh orang awam dan selain mereka. Telah valid dalam shahih Al-Bukhari dan sahih Muslim dari Aisyah –radhiallahu ‘anaa- bahwasaya Nabi bersabda: “Barangsiapa yang melakukan perkara-perkara baru dalam agama kita yang bukan darinya maka tertolak”. Dan dalam riwayat Muslim : “Barangsiapa yang melakukan amalan yang tidak ada contohnya dari amalan kami maka tertolak”. Dan dari Abu Hurairah –radhiallahu ‘anhu- ia berkata, Rasulullah bersabda : “Janganlah kalian menjadikan kuburanku sebagai ‘ied, bersholawatlah kepadaku, karena sholawat kalian akan sampai kepadaku dimanapun kalian berada”. Diriwayatkan oleh Abu Dawud dengan sanad yang shahih.

* وقال الفضيل ابن عياض رحمه الله ما معناه اتبع طرق الهدى ولا يضرك قلة السالكين وإياك وطرق الضلالة ولا تغتر بكثرة الهالكين ومن خطر بباله أن المسح باليد ونحوه أبلغ في البركة فهو من جهالته وغفلته لان البركة إنما هي فيما وافق الشرع وكيف يبتغي الفضل في مخالفة الصواب

Dan Al-Fudhail bin ‘Iyaadh rahimahullah berkata –yang maknanya adalah-, “Ikutlah jalan-jalan kebaikan dan tidak akan memudhorotkanmu sedikitnya orang yang menempuh jalan-jalan kebaikan tersebut. Dan waspadalah terhadap jalan-jalan kesesatan, janganlah engkau terpedaya dengan banyaknya orang-orang yang binasa (karena mengikuti jalan-jalan kesesatan tersebut)”.
Barangsiapa yang terbetik di dalam benaknya bahwa mengusap kuburan Nabi dengan tangannya atau yang semisalnya lebih banyak memperoleh berkah maka hal ini termasuk kebodohannya dan kelalaiannya, karena berkah hanyalah diperoleh dengan mencocoki syari’at,  dan bagaimana mungkin bisa diperoleh kemuliaan dengan menyelisihi kebenaran?” (demikian perkataan yang panjang dari Imam An-Nawawi sebagaimana termaktub dalam kitab beliau  Al-Majmuu’ Syarhul Muhadzdzab 8/275)

Beliau juga berkata dalam kitab yang sama :

وقال الامام أبو الحسن محمد بن مرزوق الزعفراني وكان من الفقهاء المحققين في كتابه في الجنائز ولا يستلم القبر بيده ولا يقبله قال وعلي هذا مضت السنة قال أبو الحسن واستلام القبور وتقبيلها الذى يفعله العوام الآن من المبتدعات المنكرة شرعا ينبغي تجنب فعله ويُنهى فاعله قال فمن قصد السلام على ميت سلم عليه من قبل وجهه وإذا أراد الدعاء تحول عن موضعه واستقبل القبلة قال أبو موسى وقال الفقهاء المتبحرون الخراسانيون المستحب في زيارة القبور أن يقف مستدبر القبلة مستقبلا وجه الميت يسلم ولا يمسح القبر ولا يقبله ولا يمسه فان ذلك عادة النصارى (قال) وما ذكروه صحيح لانه قد صح النهى عن تعظيم القبور

“Imam Abul Hasan Muhammad bin Marzuuq Az-Za’farooni –dan beliau termasuk para ulama ahli tahqiq- dalam kitabnya di bagian bab jenazah berkata : “Dan ia tidak boleh mengusap kuburan dengan tangannya dan juga tidak menciumnya…”, ia berkata; “Dan demikianlah sunnah berlaku”. Abul Hasan berkata, “Dan mengusap kuburan serta menciumnya yang dilakukan oleh orang-orang awam termasuk bid’ah-bid’ah yang mungkar dalam timbangan syari’at yang hendaknya dijauhi perbuatannya dan dilarang pelakunya”. Ia berkata, “Barangsiapa yang hendak memberi salam kepada mayat maka hendaknya ia memberi salam di hadapan wajah si mayat. Dan jika ia hendak berdoa maka hendaknya ia berpindah dari tempatnya dan menghadap kiblat. Abu Musa dan para fuqoha dari Khurosan yang sangat mendalam ilmu mereka berkata : Yang disunnahkan dalam menziarohi kuburan adalah penziaroh berdiri membelakangi kiblat dan menghadap wajah si mayat lalu memberi salam kepada si mayat dan tidak mengusap kuburan, tidak menciumnya, serta tidak menyentuhnya karena hal itu merupakan adat kebiasaan orang-orang Nasrani”.
Apa yang telah dikatakan oleh mereka (para ulama diatas) adalah benar, karena telah shahih (dari Nabi) larangan untuk mengagungkan kuburan” (demikian perkataan yang panjang dari Imam An-Nawawi sebagaimana termaktub dalam kitab beliau  Al-Majmuu’ Syarhul Muhadzdzab 5/311)


Maka manakah yang lebih paham tentang madzhab As-Syafii, Imam An-Nawawikah atau para pengagung kuburan orang-orang sholeh tersebut??!!

Keempat : Dalam kisah diatas disebutkan bahwasanya As-Syafi’i setiap hari berziaroh ke kubur Abu Hanifah dalam rangka bertabarruk. Padahal Imam As-Syafii sebelum berpindah ke Mesir beliau lama tinggal di Madinah, bahkan beliau berguru dengan Imam Malik di Madinah. Dan di Madinah terdapat banyak sekali kuburan orang-orang yang jauh lebih baik daripada Imam Abu Hanifah. Betapa banyak kuburan para sahabat. Bahkan ada kuburan Nabi. Lantas kenapa tidak diriwayatkan bahwa Imam As-Syafi’i setiap hari berziaroh ke kuburan Nabi untuk bertabarruk? (lihat penjelasan Ibnu Timiyyah di atas)

Keenam : Kalau memang kisah di atas adalah benar maka bagaimanapun Imam As-Syafii tidaklah ma’suum. Dan sikapnya ini bertentangan dengan hadits yang shahih sebagaimana diriwayatkan Ibnu Abi Syaibah dalam mushonnafnya.

أن علي بن الحُسين رضي الله عنه رأى رجلاً يأتي فرجة كانت عند قبر النبي صلى الله عليه وسلم فيدخل فيها فيدعو ، فنهاه وقال: ((ألا أحدثكم حديثاً سمعته من أبي عن جدي-يعني علي بن أبي طال رضي الله عنه- عن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال: لا تتخذوا قبري عيداً ولا تجعلوا بيوتكم قبوراً وسلموا على فإن تسليمكم يبلغني أينما كنتم))

Bahwasanya Ali bin Al-Husain –radhiallahu ‘anhu- melihat seseorang yang mendatangi sebuah celah yang ada di kuburan Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- maka orang itupun masuk ke dalam celah tersebut dan berdoa. Maka Ali bin Al-Husain pun melarang orang ini dan berkata, “Maukah aku kabarkan kepadamu sebuah hadits yang aku dengar dari ayahku (Al-Husain) dari kakekku (yaitu Ali bin Abi Tholib radhiallahu ‘anhu) dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Janganlah kalian menjadikan kuburanku sebagi ‘ied, dan janganlah kalian menjadikan rumah-rumah kalian sebagai kuburan, dan hendakanya kalian memberi salam kepadaku, karena sesungguhnya salam kalian akan sampai kepadaku dimanapun kalian berada” (HR Ibnu Abi Syaibah dalam Mushonnafnya 5/178 no 7625. Hadits ini dikatakan oleh As-Sakhoowi dalam Al-Qoul Al-Badii’ hal 161 : Hadits hasan. Muhammad ‘Awwamah pentahqiq Musonnaf Ibni abi Syaibah 5/178 : Secara umum haditsnya kuat shahih lighoirihi)


Kota Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, 16 Syawal 1431 H / 25 September 2010 M

Disusun oleh Abu Abdil Muhsin Firanda Andirja

Kitab Rujukan

1.     Al-Qoul Al-Badii’ fi As-Sholaat ‘alaa Al-Habiib As-Syafii’, Muhammad bin Abdurrahman As-Sakhoowi, Daar Ar-Royyaan litturoots

2.     At-Tankiil bi maa fii ta’niib Al-Kautsari minal Abaathiil, Abdurrahaman bin Yahyaa Al-Mu’allimi Al-Yamaani, tahqiq : Al-Albani dan Abdurrozzaaq Hmazah, Al-Maktab Al-Islaami, cetakan kedua (1406 H-1986 M)

3.     Taariikh Baghdaad (Taariikh Madiinah As-Salaam), Al-Khothiib Al-Baghdaadi, tahqiq DR Basyaar ‘Awwaad Ma’ruuf, Daar Al-Gorb Al-Islaami, cetakan pertama (1422 H-2002 M)

4.     Silsilah Al-Ahaadiits Ad-Dho’iifah wal Maudhuu’ah, Muhammad Nasiruddin Al-Albaani, Maktabah Al-Ma’aarif, cetakan pertama (1412 H-1992 M)

5.     Iqtidhoo siroothil Mustaqiim Li Mukhoolafati Ashaabil Jahiim, Ibnu Taimiyyah, tahqiq : Nashir bin Abdil Kariim Al-‘Aql, Maktabat Ar-Rusyd

6.     Al-Mushonnaf Li Ibni Abi Syaibah, tahqiq : Muhammad ‘Awwaamah, Syarikah Daar Al-Qiblah-Mu’assasah Ulum Al-Qur’an, cetakan pertama (1407 H-2006 M)

Logo

Artikel asli: https://firanda.com/77-imam-as-syafii-bertabarruk-dengan-kubur-imam-abu-hanifah-v15-57.html